Oleh: Akhmadi Yasid (mantan Jurnalis)
Saya selalu percaya: setiap beberapa tahun, dunia hiburan akan melahirkan “anak ajaib” baru. Bukan yang tiba-tiba turun dari langit. Tapi yang muncul pelan-pelan dari layar kaca, diam-diam mencuri perhatian.
Tahun ini, panggung itu bernama D’Academy 7. Sebuah ajang kolosal dangdut. Show yang tidak hanya tentang suara. Tapi lebih dari itu: sebuah peneguhan bakat.
Dan hari ini, telah lahir anak ajaib itu bernama unik: Valen. Sebuah nama yang melebihi Shakespare: lebih dari sekenal arti.
Valen ini menarik. Usianya muda—sangat muda untuk seseorang yang sudah terlihat “matang” di panggung. Ia bukan hanya bernyanyi. Ia hadir. Ia tampil. Lalu berarti. Itu perbedaan yang jarang dimiliki penyanyi baru.
Penampilannya? Fresh. Rapi tapi tidak dipaksakan. Seperti anak kota yang naik panggung setelah memastikan rambutnya pas, tapi tidak sampai lima kali bercermin. Persis generasi Z yang tahu diri: enak dilihat tanpa perlu sok dewasa.
Suara Valen? Aduhai. Ada manisnya. Ada seraknya. Ada tenaga yang meledak kalau ia mau, tetapi juga ada rem yang ia pakai di saat tepat.
Suara seperti itu biasanya dimiliki penyanyi yang sudah tiga kali patah hati dan dua kali gagal audisi. Valen belum mengalami itu. Tapi entah dari mana ia belajar teknik menahan dan melepaskan nada seperti itu.
Saya melihat Valen sebagai “paket komplit”. Istilah yang sering terlalu murah dipakai di industri hiburan. Tapi dalam kasus Valen, ia bukan sekadar paket: ia sudah di-wrap dengan pita rapi.
Panggung dia kuasai, kamera dia pahami, gesture dia tahu kapan harus diberikan, kapan harus ditahan.
Kadang saya pikir: anak muda, apalagi dari dunia dangdut, biasanya memerlukan waktu lama untuk menemukan karakter. Mereka sering kebingungan: mau jadi penyanyi cengkok klasik? Mau jadi rocker dangdut? Mau jadi model yang kebetulan bisa nyanyi?
Valen tidak terlihat bingung. Ia sudah punya jalurnya sendiri. Jalur yang, kalau ia jaga baik-baik, bisa membawanya jauh.
Industri musik dangdut sekarang sedang berubah. Penonton tidak lagi hanya mencari suara—mereka mencari figur. Sosok yang bisa ditonton, dinikmati, dijadikan ikon. Dan Valen punya semua syarat itu.
Saya tidak tahu sejauh mana kompetisi D’Academy membawanya. Kompetisi hanya panggung sementara. Tapi karakter, kerja keras, dan kejernihan rasa di panggung—itu yang menentukan panjang umur seorang penyanyi.
Valen tinggal menjaga satu hal: tetap menjadi dirinya. Fresh, sederhana, tapi memukau. Jangan ikut-ikutan template yang mematikan banyak bakat muda. Jangan mau dibentuk menjadi sesuatu yang bukan dirinya.
Kalau ia konsisten, saya tidak melihat Valen hanya sebagai peserta D’Academy. Ia bisa menjadi bintang baru. Bukan bintang yang lahir dari euforia semalam. Tapi bintang yang bersinar karena kualitasnya.
Generasi dangdut berikutnya mungkin sedang kita saksikan lahir. Bahkan mungkin, sudah jelas namanya.
Valen. Anak muda dengan paket komplit. Yang membuat kita percaya bahwa dangdut tidak pernah kehabisan kejutan.
Sayang saya lambat mengikuti euforia Valen. Semoga masih aman. Setidaknya tidak kalah dengan saweran digital yang menggila itu. Benar-benar gila! (*)







