Oleh: Akhmadi Yasid, Jurnalis yang mengabdi di parlemen
DALAM politik, sering kali yang lurus tampak miring. Yang hanya sekadar menjalankan tugas pengawasan, bisa terbaca sebagai langkah penuh intrik.
Ironinya: ketika diam, seorang politisi dianggap kecipratan; ketika bicara, dicap banyak maunya. Seakan-akan keheningan maupun suara sama-sama menimbulkan curiga.
Padahal, pengawasan bukan pilihan—ia mandat. Ia bukan keinginan pribadi, melainkan kewajiban konstitusional.
Namun aneh, ketika seseorang benar-benar mengawasi, ia dianggap “mengganggu kenyamanan.”
Persoalannya bukan lagi pada apa yang dia lakukan, melainkan pada cara orang lain memilih membaca geraknya.
Politik memang kerap berjalan di ruang abu-abu. Kata bisa berubah makna tergantung siapa yang mengucapkan dan siapa yang mendengarkan.
Tetapi bukankah yang kita butuhkan justru kebijaksanaan? Menyadari bahwa kritik adalah vitamin bagi demokrasi, bukan racun. Kita tidak alergi terhadap kritik. Tetapi kritik yang sehat harus kontekstual: berpijak pada persoalan nyata, bukan pada prasangka yang tak terbukti.
Tanpa pengawasan, kekuasaan bisa kehilangan arah. Tanpa kritik yang adil, politisi akan terus terjerat dalam stigma.
Maka yang penting bukanlah menyenangkan semua orang, melainkan menjaga agar ruang publik tetap waras: diisi oleh suara-suara yang jernih, bukan bisik-bisik penuh syak wasangka.
Saya memilih untuk tetap berusaha maksimal. Karena itulah satu-satunya jalan yang masuk akal: menjalankan tugas sebaik-baiknya, meski harus menanggung salah paham.
Politik, pada akhirnya, adalah seperti cermin retak. Ia memantulkan bayangan yang berbeda pada setiap orang yang menatapnya.
Tapi ingat, di balik retakan itu, ada satu hal yang tetap: tugas untuk menjaga agar lampu kecil bernama pengawasan tetap menyala. Sebab tanpa lampu itu, jalan kekuasaan akan gelap, dan rakyat bisa tersesat di dalamnya.
Kita boleh berbeda pendapat. Tentu sah saja, tak ada yang dilanggar. Tapi, diam atas sebuah keadaan, tak menyangkut sah atau tidak. Ia sesungguhnya keberpihakan.
Dan Soal Kritik Itu…
Kritik, sesungguhnya, bukan sekadar keberanian untuk berbeda. Ia adalah cara menjaga kewarasan dalam politik.
Bagi saya, yang duduk dengan kursi hasil suara rakyat, tak hanya berkewajiban membaca naskah peraturan atau menyetujui anggaran.
Tapi harus mendengar denyut krisis. Harus memiliki sense of crisis, kepekaan pada retakan kecil yang mengancam kepercayaan publik.
Masalah dugaan kongkalikong proyek, misalnya, bukanlah cerita baru. Sudah berulang kali dititipkan ke forum-forum rapat.
Tapi suara itu seolah lenyap. Diam yang panjang. Padahal persoalan itu begitu telanjang, nyata, dan bisa dirasakan publik yang tak perlu ijazah hukum untuk mengartikannya Kanda.
Monopoli proyek oleh kelompok tertentu—bukankah itu penghinaan pada semangat demokrasi? Bukankah itu tanda bahwa kita gagal menjaga jarak dari kerakusan?
Maka, membawanya ke ranah publik bukanlah sekadar pilihan. Ia adalah panggilan. Sebab politik bukanlah ruang gelap penuh bisik-bisik. Melaunkan halaman luas di mana rakyat berhak tahu siapa yang bermain di balik angka-angka.
Pertanyaannya: apakah kita akan diam? Tidak, sahabat.
Kita kan tidak harus sama. Dan maaf, kita memang mungkin harus berbeda.
Karena hemat saya berpikir kritis bukan hanya milik intelektual kampus. Ia milik siapa saja yang menolak tunduk pada kebisuan.
Ia milik siapa saja yang percaya, bahwa politik harus kembali pada publik—bukan pada segelintir yang merasa berhak atas proyek, atas uang, atas masa depan.
Sepertinya kita perlu diskusi mendalam. Bukan soal ini saja. Soal apa saja sih hemat saya. Mungkin juga soal semua. Semua yang pernah terjadi. Antara kau, dia dan kepedihan.
Selamat pagi. (*)





