banner 728x250
Opini  

Menjadi “Ateis” Islami: Mungkinkah Mengingkari Tuhan dalam Rangka Beriman?

Aldi Hidayat, dosen Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur’an An-Nur Yogyakarta
Aldi Hidayat, dosen Fakultas Ushuluddin IIQ An-Nur Yogyakarta dan penulis opini.

Oleh: Aldi Hidayat, Penulis/Dosen Fakultas Ushuluddin IIQ An-Nur Yogyakarta

Selama ini, iman dan ingkar dipahami sebagai dua kutub yang saling meniadakan. Beriman berarti percaya penuh kepada Tuhan, sementara mengingkari Tuhan diposisikan sebagai puncak kesesatan. Namun, bagaimana jadinya jika mengingkari Tuhan justru dilakukan untuk memperdalam iman? Apakah mungkin seseorang mengingkari Tuhan demi membela keagungan-Nya? Pertanyaan inilah yang membuka ruang paradoks dalam pemikiran tasawuf, khususnya melalui gagasan teologi negatif Ibn ‘Arabī.

Dalam wacana teologi populer, Tuhan dipahami sebagai “Ada” yang bisa dijelaskan melalui sifat, nama, dan kategori tertentu. Tuhan Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Hidup, dan seterusnya. Inilah yang disebut teologi positif: Tuhan diyakini bisa dipahami lewat bahasa, konsep, dan logika manusia. Namun, Ibn ‘Arabī—seorang sufi besar dari Andalusia—justru bergerak ke arah sebaliknya. Ia menegaskan bahwa Tuhan terlalu agung untuk dikurung dalam konsep apa pun, bahkan dalam kata “ada” itu sendiri.

Ibn ‘Arabī lahir pada 1165 M di Andalusia dari keluarga bangsawan. Namun, ia memilih jalan sufi yang asketik. Dalam perjalanan spiritualnya, ia mengalami perjumpaan batin yang mengguncang fondasi pemahaman intelektualnya tentang Tuhan. Salah satu kisah paling terkenal ialah dialognya dengan filsuf besar Ibn Rusyd. Ketika ditanya apakah Tuhan yang ia jumpai secara spiritual sama dengan Tuhan yang dipahami secara rasional, jawaban Ibn ‘Arabī singkat namun mengguncang: “Ya dan tidak.” Kalimat paradoks ini mencerminkan seluruh bangunan teologi negatifnya.

Ilustrasi Ibn ‘Arabī, sufi besar asal Andalusia dan penggagas teologi negatif dalam Islam
Ilustrasi Ibn ‘Arabī (1165–1240), sufi besar asal Andalusia dan tokoh utama dalam tradisi tasawuf serta teologi negatif Islam.

Bagi Ibn ‘Arabī, Tuhan sekaligus dapat didekati dan tak akan pernah sepenuhnya terjangkau. Dalam istilah tasawuf, ini disebut tanzīh dan tasybīh. Tanzīh berarti menyucikan Tuhan dari segala kemiripan dengan makhluk—Tuhan sepenuhnya melampaui. Tasybīh berarti Tuhan menampakkan diri dalam berbagai bentuk kehidupan—Tuhan terasa dekat. Dua hal ini tidak boleh dipisahkan. Jika hanya tanzīh, Tuhan menjadi terlalu jauh. Jika hanya tasybīh, Tuhan menjadi terlalu mirip manusia.

Masalah muncul ketika manusia terlanjur merasa “sudah memahami” Tuhan lewat konsep-konsep tadi. Di sinilah teologi negatif Ibn ‘Arabī bekerja. Ia mengajarkan satu prinsip penting: setiap kali kita menyebut Tuhan sebagai “ini” atau “itu”, sejatinya kita harus segera mengatakan “bukan itu”. Tuhan selalu lebih luas dari semua konsep yang kita buat. Bahkan ketika kita berkata “Tuhan itu ada”, Ibn ‘Arabī mengajak kita untuk berhati-hati, sebab “ada” adalah kategori makhluk. Tuhan melampaui ada dan tiada.

Di titik inilah kita memasuki wilayah yang tampak seperti ateisme. Sebab, mengatakan Tuhan “bukan ada” dan “bukan tidak ada” menyerupai bahasa penolakan terhadap eksistensi Tuhan itu sendiri. Namun bedanya sangat mendasar. Ateisme modern menolak Tuhan karena dianggap tidak terbukti secara empiris atau dianggap produk khayalan sejarah kelam agama. Sementara teologi negatif menolak konsep-konsep tentang Tuhan justru untuk menyelamatkan keagungan-Nya dari penyederhanaan manusia.

Ateisme di Barat lahir dari sejarah panjang problem gereja: dogma trinitas yang problematik, konflik naskah suci, serta kekerasan atas nama agama. Dari situ, lahirlah trauma kolektif terhadap Tuhan. Tuhan dipandang sebagai sumber penindasan. Maka Tuhan ditolak. Inilah yang membedakan ateisme modern dengan “peniadaan” Tuhan dalam teologi negatif. Yang satu menolak karena benci dan kecewa, yang satu menolak karena hormat dan tunduk.

Di sisi lain, tauhid Sunni tetap menegaskan bahwa Tuhan memiliki zat dan sifat. Allah Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Mendengar, dan Maha Melihat. Namun sifat-sifat ini tidak sama dengan sifat makhluk. Di sinilah titik pertemuan halus antara tauhid Sunni dan teologi negatif Ibn ‘Arabī. Keduanya sama-sama menolak penyerupaan Tuhan dengan makhluk. Bedanya, tauhid Sunni masih mempertahankan bahasa positif tentang Tuhan, sementara Ibn ‘Arabī terus mendorong manusia melampaui bahasa itu.

Dari sinilah muncul gagasan yang boleh jadi terdengar provokatif: “ateisme Islami.” Bukan ateisme dalam arti menolak Tuhan, melainkan “mengingkari konsep-konsep tentang Tuhan” agar Tuhan tetap Maha Tak Terbatas. Ini adalah sikap spiritual: setiap kali manusia merasa telah menemukan Tuhan dalam satu definisi, saat itu pula ia harus melepaskannya. Sebab Tuhan tidak pernah bisa “dimiliki” oleh satu tafsir.

Dengan kata lain, ada jenis pengingkaran yang justru melahirkan iman yang lebih dewasa. Bukan iman yang puas dengan simbol, label, dan slogan, melainkan iman yang terus gelisah, mencari, dan sadar akan keterbatasan dirinya. Dalam bahasa Jacques Derrida: “Aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya beriman.”

Di tengah situasi keagamaan hari ini yang sering dipenuhi klaim kebenaran sepihak, teologi negatif Ibn ‘Arabī menawarkan etika spiritual yang penting: rendah hati di hadapan Tuhan. Bahwa siapa pun yang merasa paling tahu tentang Tuhan, justru sedang berada pada jarak paling jauh dari-Nya. Mungkin, di zaman penuh kepastian palsu ini, kita memang perlu sedikit “mengingkari” Tuhan—agar iman kita tidak jatuh menjadi kesombongan.  (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *