Oleh: AKHMADI YASID*
Akhirnya tuntas. Akhirnya figur itu muncul juga.
Figur yang selama ini hanya bergerak seperti bayang-bayang di belakang para sesepuh. Figur yang disebut-sebut, tapi tidak pernah menyebut dirinya.
Figur yang “baru”—bukan karena usianya, bukan karena riwayatnya yang kosong. Akan tetapi karena ia hadir sebagai representasi kyai muda dengan kompleksitas kepemimpinan. Model yang sedang dicari-cari warga nahdliyin Sumenep.
Namanya: KH MD. Widadi Rahim.
Ketua PCNU Sumenep yang baru terpilih. Fresh from the oven. Baru saja keluar dari dapur demokrasi Konfercab NU di Bumi Latee Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk.
Kalau NU punya istilah satu fikrah satu harakah, maka pemilihan Widadi ini seolah menjadi pembuktian bahwa fikrah dan harakah itu masih hidup. Masih bergerak. Masih dipercaya.
Tema konferensi itu bukan sekadar spanduk: ia menjadi jalan yang mengantarkan Widadi ke kursi ketua.
Saya membayangkan banyak orang yang menghela napas lega.
Akhirnya ada generasi baru.
Akhirnya ada figur muda yang tidak sekadar muda.
PCNU Sumenep sudah lama dipimpin oleh sosok low profile bernama KH Panji Taufik. Figur yang tenang, kompleks, dan sering bekerja dalam diam.
Di bawah beliau, kepemimpinan NU lebih banyak mengalir seperti air: perlahan, stabil, dan tidak suka gaduh. Tapi air, seberapa pun jernihnya, tetap butuh mata air baru agar tidak stagnan.
Dan Kyai Widadi adalah mata air itu.
Ia tidak muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh dari kultur pesantren yang keras pada tradisi, tetapi lentur terhadap perubahan.
Dari kultur pesantren yang sudah lama menanamkan satu nilai: pemimpin tidak boleh minta dipilih. Ia harus “dipilihkan”. Dan pemilihan kemarin membuktikan itu.
Sekarang, beban itu sudah di pundaknya. Tentu banyak PR yang menunggu.
NU Sumenep itu luas. Kompleks. Tidak cukup hanya kuat di struktur—karena struktur sering hanya tampak di rapat-rapat resmi.
Yang jauh lebih penting justru kultur: kebiasaan NU. Entah itu pengajian kecil di kampung, tahlilan di pojok dusun, majelis-majelis yang hidup tanpa publikasi, gerak keagamaan yang tidak pernah masuk berita.
Di situ NU tinggal. Di situ NU bernapas. Di situ sesungguhnya kekuatan NU.
Kyai Widadi harus masuk ke ruang-ruang itu. Harus hadir di antara dinamika internal yang kadang riuh, kadang senyap.
Widadi harus menegakkan marwah organisasi, tapi juga menjaga keseharian warga agar tetap merasa memiliki rumah besar bernama NU.
Karena sesungguhnya NU itu bukan kantor. Bukan rapat. Bukan kop surat.
NU itu kebiasaan yang diwariskan. NU itu nafas yang tidak disadari. NU itu cara masyarakat membangun hubungan dengan langit dan menata hubungan di bumi.
Tantangan ke depan? Banyak. Kompleks.
Menguatkan kaderisasi. Menyambungkan tradisi dengan tantangan digital. Menjembatani generasi muda pesantren dengan dunia baru yang lebih cepat daripada kitab kuning dibacakan. Menyelesaikan masalah-masalah sosial umat yang tidak pernah habis.
Itu sebabnya NU Sumenep menunggu figur baru. Figur yang tidak hanya bisa duduk. Tetapi bekerja.
Dan NU, seperti biasa, memilih caranya sendiri untuk melahirkan pemimpin: pelan, tenang, dan tiba-tiba matang.
Kali ini, namanya KH MD. Widadi Rahim. Fresh from the oven.
Mari kita lihat bagaimana roti hangat ini mengisi meja besar bernama PCNU Sumenep.(*)
*Mantan Jurnalis, kini Anggota FPKB DPRD Sumenep











