banner 728x250

Duka Kangen, Pilu Bangsa: Negara Harus Hadir untuk Korban

CATATAN REDAKSI AKHIR PEKAN:

Kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur yang terjadi di salah satu desa di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, kembali menyentak nurani kita.

Dalam beberapa pekan terakhir, masyarakat di kepulauan itu digemparkan oleh laporan tentang seorang anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual oleh orang dekat—bahkan diduga dilakukan berulang kali.

Namun yang lebih menyakitkan bukan hanya peristiwanya, melainkan respons yang lamban dari aparat dan lemahnya perlindungan terhadap korban.

Keterisolasian geografis Kangean kerap menjadi alasan klasik atas lambannya penanganan hukum. Tapi keterlambatan dalam menangkap pelaku dan menyediakan perlindungan psikologis kepada korban justru menunjukkan bahwa negara belum benar-benar hadir secara utuh di wilayah pinggiran.

Di saat korban membutuhkan perlindungan, pendampingan, dan keadilan—yang datang justru kabar negosiasi, tekanan sosial, bahkan upaya “damai” yang tak manusiawi.

Di banyak kasus serupa, keluarga korban dipaksa bungkam demi menjaga “aib” atau “nama baik desa”, sementara pelaku justru leluasa karena memiliki kuasa sosial atau hubungan darah.

Ini bukan hanya soal kejahatan seksual, ini tentang kegagalan sistemik: hukum, budaya patriarki, dan birokrasi yang sering abai terhadap nasib perempuan dan anak.

Pertanyaan mendasar pun mencuat: Di manakah peran pemerintah daerah, unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di kepolisian, Dinas Sosial, serta tokoh masyarakat dalam memastikan korban tidak dikorbankan untuk kedua kalinya?

Kasus ini seharusnya menjadi titik balik. Penegak hukum harus menunjukkan komitmen bahwa siapa pun pelakunya, tidak ada ruang untuk perlakuan istimewa.

Pemerintah daerah juga harus segera membentuk mekanisme perlindungan korban berbasis desa, termasuk menyediakan tenaga konseling dan pelatihan hukum untuk perempuan dan anak.

Dan bagi masyarakat Kangean, ini saatnya berdiri bersama korban, bukan menghakimi. Budaya diam harus dilawan. Keadilan tidak boleh hanya milik orang kota atau yang dekat kekuasaan. Pulau terpencil pun berhak atas hukum yang adil dan kemanusiaan yang bermartabat.

Jika hari ini kita bungkam, maka besok anak-anak lain bisa menjadi korban berikutnya.

Berdasarkan keterangan Plt. Kasi Humas Polres Sumenep, AKP Widiarti, modusnya pun serupa: pelaku meminta korban mengambil air dan membawanya ke kamar, kemudian melakukan perbuatan bejat dan mengancam agar korban menjaga diam.

Setelah modus yang sama terulang, korban–korban lain mulai bersuara, bahkan terbongkar lewat curhatan di grup WhatsApp yang kemudian melibatkan orang tua korban  .

Kisah Kangean bukan sekadar kisah pilu; ini cermin dari lemahnya sistem dalam melindungi anak, terutama di wilayah terpencil. Ketika negara lamban hadir, korupsi kekuasaan terjadi—anak jadi korban, keadilan menjadi fatamorgana.

Saatnya aparat dan pemerintah membuktikan kata-kata mereka. Bukan hanya menangkap, tetapi menegakkan hukum dan membangun sistem perlindungan yang berkelanjutan. Anak-anak Kangean berhak dilindungi—agama, budaya, dan jarak geografis bukan alasan untuk berdiam. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *