Oleh: H. Eksan SE
Anggota DPRD Sumenep, Fraksi PKB
Dalam tradisi masyarakat Madura, amanah bukan sekadar titipan. Ia adalah kehormatan, marwah, dan harga diri. Bila amanah dilanggar, bukan hanya hukum yang murka, tapi juga leluhur akan malu.
Maka ketika kabar dugaan penyimpangan program BSPS mencuat di Sumenep, hati saya terusik. Bukan karena ini hal baru, tapi karena ini luka lama yang terus diulang dengan pola yang sama: kekuasaan dipakai bukan untuk mengabdi, tapi untuk mengambil bagian dari apa yang bukan haknya.
Program BSPS sejatinya adalah berkah. Di tengah sulitnya rakyat kecil membangun rumah, negara hadir dengan stimulan. Tapi berkah itu berubah menjadi nestapa ketika niat baik negara diselewengkan oleh tangan-tangan yang tidak takut dosa. Yang semestinya jadi “batu bata kasih sayang”, malah dijadikan alat dagang kepentingan.
Saya mendengar banyak cerita dari bawah. Tentang penerima yang disuruh bayar, tentang bahan bangunan yang tidak sesuai, tentang pengurus yang lebih sibuk cari fee daripada pastikan rumah benar-benar berdiri.
Ini bukan sekadar salah prosedur. Ini bentuk pengkhianatan terhadap nilai dasar politik: mengabdi untuk maslahat umat.
Dalam bahasa Madura, kita mengenal istilah “angok pote tolang, tembeng pote mata”—lebih baik mati daripada hidup tak tahu malu. Sayangnya, dalam kasus BSPS ini, ada yang tidak lagi takut kehilangan wajah.
Mereka mempermainkan kepercayaan rakyat, menjadikan bantuan sebagai komoditas, dan menyembunyikan niat buruk di balik seragam pengabdian.
Secara hukum, dugaan pungutan, manipulasi bahan, dan rekayasa teknis bisa digolongkan sebagai tindak pidana korupsi. Tapi secara politik, ini lebih dalam: ini penghinaan terhadap amanat rakyat, penggerusan legitimasi pemerintah, dan pembunuhan pelan-pelan terhadap kepercayaan publik.
Saya ingin mengajak semua pihak untuk kembali ke jalan lurus. Mari kita jadikan BSPS ini sebagai cermin. Apakah kita masih punya rasa malu? Masihkah kita takut pada kutukan rakyat kecil yang rumahnya belum berdinding, tapi dikhianati oleh mereka yang berdasi?
Sebagai anggota DPRD dari Fraksi PKB, saya menegaskan tiga hal:
1. Penegak hukum harus bertindak tegas, tak pandang bulu. Jika memang ada bukti, jangan ragu seret ke meja hijau.
2. Bupati dan jajaran OPD terkait harus buka mata dan telinga, jangan lindungi oknum, dan lakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan BSPS.
3. Kita semua, termasuk saya, harus intropeksi, karena kekuasaan sejatinya adalah ladang ujian: apakah kita menanam amal, atau menanam aib.
Kepada rakyat Sumenep, khususnya para penerima BSPS, saya mohon: jangan diam. Suarakan kebenaran. Laporkan penyimpangan. Karena diamnya korban adalah merdekanya pelaku.
Dan kepada para pemegang kekuasaan, ingatlah: tak ada kekuasaan yang abadi. Tapi dosa karena menyalahgunakan kekuasaan bisa abadi, bahkan sampai alam kubur. (*)