Oleh: Nadi Mulyadi
Anggota DPRD Pamekasan dari PDIP
Dalam politik lokal, 100 hari pertama pemerintahan adalah semacam ujian perdana: bukan sekadar tentang kecepatan kerja, tapi soal arah dan cara melangkah. Pemerintahan Kholilurrahman dan Sukriyanto, yang baru saja genap 100 hari menakhodai Pamekasan, kini berada di persimpangan penting: antara harapan rakyat dan kenyataan birokrasi.
Sebagai warga sekaligus pengamat yang cukup lama menyimak denyut pemerintahan Madura, saya menilai bahwa duet ini tampil penuh energi di awal, dengan narasi perubahan yang kuat: mempercepat pelayanan, menata ulang birokrasi, hingga mendorong program unggulan di bidang pendidikan, ekonomi santri, dan infrastruktur desa. Namun, sebagaimana lazimnya di banyak daerah, semangat awal sering kali menghadapi tembok realitas: ketidaksiapan aparatur, kepentingan warisan politik sebelumnya, dan terbatasnya anggaran.
Narasi Besar, Eksekusi Masih Ragu
Kholilurrahman-Sukriyanto memulai pemerintahan dengan semangat populis dan religius: “Membangun dengan Barokah”. Ini bukan sekadar slogan, tapi pesan moral bahwa kekuasaan harus berpijak pada etika dan keberpihakan. Namun, hingga kini, publik masih bertanya: di mana terobosan nyatanya?
Beberapa program seperti digitalisasi pelayanan desa, reformasi tata kelola pasar, dan pembenahan infrastruktur jalan memang mulai berjalan, namun banyak di antaranya baru menyentuh tataran wacana. Janji akan membuka 1.000 lapangan kerja baru berbasis UMKM, misalnya, masih belum terlihat dampaknya secara nyata di lapangan.
Ini tentu bisa dimaklumi—sebatas 100 hari bukan waktu ideal untuk menilai secara menyeluruh. Tapi 100 hari tetap penting sebagai indikator awal: apakah kepemimpinan ini punya arah yang tegas, atau hanya mengalir mengikuti arus lama?
Birokrasi Masih Ragu, Publik Mulai Ragu
Salah satu tantangan besar yang dihadapi duet Kholil-Sukri adalah soal loyalitas birokrasi. Banyak aparatur sipil yang masih bersikap menunggu: belum sepenuhnya bergerak seirama dengan visi kepala daerah baru. Akibatnya, sejumlah program tersendat bukan karena konsepnya buruk, tapi karena mesin di bawahnya belum sepenuhnya percaya atau diberdayakan.
Rakyat Pamekasan menunggu bukti, bukan hanya pidato. Masyarakat bawah sudah terlalu sering dijanjikan. Maka, 100 hari seharusnya jadi momentum untuk menunjukkan ketegasan: apakah pemerintahan ini siap meninggalkan pola lama dan benar-benar membangun dari bawah?
Rekomendasi Kritis untuk Pemerintahan Kholil-Sukri
Sebagai wartawan senior yang tumbuh dari desa-desa Pamekasan dan hidup bersama denyut rakyat, saya ingin menyampaikan beberapa catatan kritis:
1. Perkuat birokrasi, bukan hanya ganti orang. Bupati dan wakil harus memastikan ASN benar-benar memahami arah kebijakan. Rotasi boleh dilakukan, tapi pembinaan dan pembekalan jauh lebih penting.
2. Jangan larut dalam pencitraan. Media sosial dan baliho bukan ukuran keberhasilan. Rakyat ingin air bersih mengalir, jalan mulus sampai dusun, dan pasar rakyat yang tidak kumuh.
3. Jaga komunikasi dengan rakyat kecil. Bupati tidak boleh hanya dekat dengan elite. Dengarkan suara nelayan, petani, tukang becak, dan santri. Mereka bukan objek pembangunan—mereka adalah subjek utama.
4. Beri teladan moral dan kesederhanaan. Di tengah krisis kepercayaan pada politik, pemimpin yang bersih, sederhana, dan bisa diajak bicara akan lebih bermakna daripada program-program mewah tanpa ruh.
Akhirnya, Jalan Masih Panjang
Seratus hari adalah detik-detik pertama dalam sebuah maraton lima tahun. Pemerintahan ini masih punya waktu dan peluang untuk membuktikan bahwa janji-janji yang diucapkan bukan sekadar kata-kata, tapi niat tulus untuk menyejahterakan.
Sebagaimana orang Madura bilang, “sapo’ ateh bisa ta’ aer, tapi sapo’ jerok tak bisa ta’ bassa”—kulit bisa dikeringkan, tapi hati yang terluka tak mudah diobati. Rakyat sudah terlalu lama dikecewakan. Maka tugas Kholilurrahman dan Sukriyanto adalah bukan hanya memimpin, tapi menyembuhkan. Bukan hanya membangun, tapi juga merawat harapan. (*)