Oleh: dr Virzannida Busyro (Komisi IV DPRD Sumenep/Fraksi PKB)
Kasus pencabulan yang dilakukan oleh SN, seorang tokoh agama di wilayah Kepulauan Kangean, Sumenep, kembali menampar nurani kita semua. Menghilangkan batas-batas logika: sungguh biadab.
Tokoh yang seharusnya menjadi panutan dan pembimbing moral justru mencederai martabatnya sendiri—dan lebih buruk lagi, melukai korban yang masih berusia di bawah umur.
Terungkapnya kasus ini memiliki ironi tersendiri. Sang korban baru berani bersuara setelah menonton film Walid, yang mengangkat kisah guru ngaji yang membela anak-anak dari kejahatan seksual.
Film tersebut menjadi pemantik kesadaran: bahwa diam bukan jalan keluar, bahwa menyuarakan kebenaran adalah hak setiap korban.
SN kini sudah ditahan oleh Polres Sumenep, dan proses hukum tengah berjalan. Namun, proses hukum saja tidak cukup.
Kita harus bicara lebih luas: tentang sistem yang membiarkan pelaku kekerasan seksual berlindung di balik simbol-simbol agama, tentang budaya diam yang membuat korban merasa bersalah, dan tentang masyarakat yang kerap memuliakan simbol tanpa menyelami substansi.
Masyarakat Kangean—dan Sumenep secara umum—harus berani mengakui: bahwa kejahatan bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk mereka yang mengenakan sorban dan berdiri di mimbar.
Bahwa agama bukan tameng untuk membenarkan hasrat bejat. Bahwa iman tak bisa dijadikan alat pemerkosa kepercayaan.
Dalam kasus ini, peran film sebagai media pemantik kesadaran sangatlah krusial. Walid bukan hanya cerita, tapi cermin. Cermin bagi kita untuk bertanya: berapa banyak lagi SN yang bersembunyi di balik jubah suci? Berapa banyak lagi korban yang memilih bungkam karena takut, malu, atau bahkan diintimidasi?
Opini ini bukan serangan terhadap institusi agama, melainkan panggilan untuk membersihkan wajah agama dari orang-orang yang mencorengnya. Tokoh agama yang sejati tidak akan membungkam korban. Mereka akan berdiri di sampingnya, melindunginya, dan memastikan keadilan ditegakkan.
Kepada penegak hukum, kami menaruh harapan agar proses ini tidak berhenti di SN. Lakukan penyelidikan menyeluruh. Jika ada jaringan, ungkap semuanya. Jika ada pembiaran, usut tuntas. Jangan beri ruang bagi predator untuk memakai jubah moral.
Dan kepada masyarakat, terutama para orang tua, ajarkan anak untuk berani bersuara. Tanamkan pada mereka bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri, dan tak seorang pun berhak menyentuh tanpa izin. Bahkan jika pelakunya adalah orang yang kita segani.
Semoga kasus ini menjadi momentum. Bukan hanya untuk keadilan, tapi juga untuk pembebasan: dari ketakutan, dari budaya diam, dan dari kepalsuan yang berkedok kesucian.
Sebuah lonceng kematian atas harapan generasi penerus, yang tentu membahayakan. Kalau bukan kita yang peduli, lalu siapa yang akan mengawal generasi selanjutnya? Silahkan Anda semua renungkan. (ahy)