Dalam sepekan terakhir, Indonesia seakan berada di persimpangan sejarah. Jalanan dipenuhi protes, suara rakyat menggema, dan kemarahan kepada politisi meluap tanpa sekat.
Sebuah tragedi bahkan menjadi simbol getir: rakyat kecil yang memperjuangkan keadilan justru menjadi korban kekerasan di negeri yang katanya berlandaskan demokrasi.
Namun dari setiap luka, ada pelajaran yang mesti kita jaga.
Kalimat lama yang masih bergema hingga kini: Vox Populi, Vox Dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Ia bukan sekadar slogan, melainkan penegasan moral.
Rakyat yang bersuara sejatinya sedang memperingatkan penguasa agar tidak tersesat dalam kenikmatan kekuasaan. Sayangnya, seringkali suara itu justru diabaikan, bahkan diperlakukan sebagai ancaman.
Politisi yang sibuk memperdebatkan tunjangan, fasilitas, atau kepentingan kelompoknya, lupa bahwa rakyatlah yang menghidupkan demokrasi.
Di titik ini, kemarahan rakyat bukan lagi sekadar letupan emosional, melainkan konsekuensi dari pengkhianatan pada janji politik.
Tetapi, kemarahan rakyat tak boleh menjadi bara yang membakar habis segalanya. Di tengah keresahan, kita perlu kemewahan paling berharga: kedewasaan.
Menjaga tutur kata, menahan perilaku, tetap beradab meski kecewa. Sebab bila amarah kehilangan kendali, suara rakyat yang suci bisa dipelintir menjadi alat bagi kepentingan baru yang lebih berbahaya.
Kita sadar, bangsa ini sedang bersedih. Bukan hanya karena politik yang mengecewakan, tapi juga karena bencana yang menimpa di berbagai daerah.
Air bah menenggelamkan rumah, api hutan merenggut oksigen, bumi bergetar, gunung meletus—seolah alam pun ikut berteriak bersama rakyat.
Namun kesedihan tak boleh terlalu lama. Bangsa yang larut dalam tangis akan kehilangan daya untuk bangkit.
Kita boleh menangis semalam, tetapi esok hari harus menyalakan semangat baru. Dari luka kita belajar, dari kesedihan kita bangkit, dari keterpurukan kita temukan harapan.
Bangsa ini butuh energi baru. Bangsa ini butuh arah baru. Kita butuh perspeitif baru.
Butuh semangat persatuan, bukan permusuhan. Butuh kepemimpinan yang merangkul, bukan mempermalukan. Butuh rakyat yang kritis, tapi tetap santun dan menjaga kemanusiaan.
Indonesia tidak boleh terjebak dalam siklus marah tanpa arah. Ia harus beranjak menuju jalan pulih: dengan memperbaiki cara berbicara, memperindah cara bertindak, dan memperkuat solidaritas sosial.
Suara rakyat adalah suara Tuhan. Kita sedang dipanggil untuk mendengar, untuk merenung, dan untuk berubah. Indonesia mungkin bersedih hari ini, tapi ia tidak boleh tenggelam dalam kesedihan.
Dari air mata, harus lahir tekad baru. Dari kemarahan, harus lahir kebijaksanaan.
Karena bangsa ini ditakdirkan bukan untuk meratap, melainkan untuk bangkit. (*)