banner 728x250

Mantan Disayang atau Mantan Dibuang?: Hikmah Pengukuhan PKDI Sumenep

Oleh: Akhmadi Yasid (Pewarta, bermukim di selatan Kota Sumenep)

Saya tak sedang bicara soal cinta. Tapi tentang mantan. Mantan apapun. Mantan bupati, mantan ketua, mantan pacar, mantan orang dalam, mantan yang masih merasa “berhak”.

Mantan itu seperti baju seragam bekas: pernah berjasa, pernah dipakai, pernah dibanggakan, tapi ya sudah—sekarang digantung saja. Kalau dipaksakan dipakai lagi, malah jadi bahan tertawaan. Bau naftalennya terlalu menyengat.

Tapi di negeri ini, mantan sering tidak tahu diri. Masih ingin tampil. Masih ingin dianggap penting. Masih minta dipanggil dengan gelar lamanya.

“Pak Ketua,” katanya.

Padahal sekarang dia cuma mantan. Dan di dalam ruang demokrasi, mantan tidak punya kursi.

Saya sering heran. Apakah jabatan itu sebegitu manisnya sampai tak rela dilepas? Apakah kursi kekuasaan itu seperti candu yang membuat lupa bahwa hidup ini bergerak maju, bukan mundur?

Dalam bahasa birokrasi, ada istilah “purna tugas”. Bagus sekali istilah itu. Artinya sudah selesai. Tuntas. Sudah tidak relevan untuk mengatur, menyuruh, apalagi mengganggu urusan yang sekarang.

Tapi seringkali, yang sudah purna justru yang paling ribut. Karena tidak bisa move on.

Jamak kita dengar istilah ini: post power syndrome. Artinya apa? Boleh Anda googling.

Kita harus mulai berani membuang mantan—ke tempat yang seharusnya: museum sejarah. Biar jadi pelajaran, bukan penghalang.

Bukan berarti tak menghormati. Tapi seperti kenangan, mantan cukup dikenang, bukan dijadikan penentu arah masa depan.

Saya tidak sedang nyinyir. Ini hanya realita. Dalam politik, dalam organisasi, bahkan dalam hubungan pribadi—mantan yang tak tahu diri sering jadi masalah.

Makanya, kalau Anda sedang mengurus organisasi, pastikan satu hal: jangan beri ruang terlalu luas untuk bayang-bayang masa lalu.

Masa depan itu milik yang berani melangkah.

Bukan yang terus menoleh ke belakang, sambil menepuk-nepuk bahu sendiri, berkata, “Dulu saya…”

Sudahlah. Dulu itu dulu.

Sekarang, tolong minggir.

Tempat mantan itu jelas: di belakang.

Atau kalau perlu: di tempat sampah kenangan.

Maka, ketika Pengukuhan Pengurus PKDI (Persatuan Kepala Desa Indonesia) Sumenep kemarin, tampak memang menjadi simbol regenerasi. Saatnya estafet itu berganti tangan, memberi ruang segar untuk ide dan kepemimpinan baru.

Tapi seperti biasa, tidak semua orang siap untuk pergi. Tidak semua yang purna bersedia menepi. Apalagi ketika kursi kekuasaan pernah diduduki terlalu lama, terlalu nyaman, terlalu membius.

Ada orang dalam rupa baru, terlihat masih post power syndrome. Masih tampak berdiri di garis depan. Seolah ingin mengatur. Mau memberi aba-aba. Berkomentar lantang. Bahkan lebih vokal dari ketua.

Dia bukan lagi pengambil keputusan, tapi seolah enggan menerima kenyataan. Dia bukan lagi pusat perhatian, tapi masih ingin jadi orbit yang mengendalikan putaran.

Ini bukan soal pribadi. Tapi soal kepemimpinan. Tentang bagaimana seorang pemimpin—yang baik—seharusnya tahu kapan harus turun, dan legawa untuk digantikan.

Kepemimpinan bukan soal mempertahankan kursi, tapi mempersiapkan orang lain duduk di sana. Kalau itu gagal dilakukan, yang tampak hanyalah bayangan kekuasaan yang enggan padam, meski lampunya sudah dipadamkan.

Pemimpin yang kuat bukan hanya mampu merumuskan program. Tapi juga mampu menata peran. Termasuk memposisikan yang sudah purna agar tidak mengacaukan barisan.

Jika ini gagal dilakukan, maka struktur hanya menjadi formalitas. Yang memimpin di atas kertas, tapi yang mengendalikan tetap yang di belakang layar. Dan itu bukan kepemimpinan—itu sandiwara.

PKDI adalah rumah besar para kepala desa. Dan rumah itu harus ditata dengan etika. Yang tua dihormati. Yang muda diberi tempat. Yang sudah selesai diberi ruang untuk menginspirasi, bukan untuk mengendali.

Kita percaya ketua. Kita percaya bisa melepaskan bayangan mantan. Entah mantan apapun itu. Hehe. Selamat ketua. Anda memang sangat layak. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *