Oleh: Affandi Ubala (Rakyat Biasa di Kota Sumekar)
Bagai disambar petir. Bukan sekedar petir. Tapi ini petir di siang bolong. Byarrrr: ambyar jadinya. Kita terkejut. Tersentak.
Mari bicara soal Ketua DPRD Sumenep. Pemimpin yang kolektif kolegial itu. Benar-benar mengejutkan kita semua. Bukan karena Klebun jadi ketua DPRD. Tapi karena komentarnya: lucu dan menggelikan.
Pernyataan Ketua DPRD Sumenep, Zainal Arifin, yang menyentil masyarakat agar “menggarap sendiri” jika ingin proyek pembangunan yang dibiayai APBN berjalan bagus, membuat kita ngenes.
Sekaligus menjadi potret ironis dari seorang pejabat publik yang seharusnya menjadi pengawas dan pelindung kepentingan rakyat.
Ucapan tersebut bukan saja terdengar sumbang. Tapi juga menunjukkan ketidaktepatan dalam memahami posisi serta tanggung jawab kelembagaan DPRD. Sebab rakyat bukanlah kontraktor, bukan pula inspektorat. Mereka adalah penerima manfaat pembangunan yang dibayari dari pajak dan utang negara.
Maka menjadi tanggung jawab negara—melalui kementerian teknis, pemerintah daerah, dan tentu DPRD sebagai lembaga pengawasan—untuk memastikan proyek berjalan dengan kualitas dan akuntabilitas yang tinggi.
Sikap “lempar bola” kepada masyarakat dalam konteks ini bisa dimaknai sebagai bentuk pembiaran. Bahkan kemunduran nalar demokrasi. Apalagi proyek yang dimaksud menggunakan anggaran miliaran rupiah dari APBN.
Kalau kualitasnya buruk, itu berarti ada masalah serius dalam perencanaan, pelaksanaan, atau pengawasan.
Sebagai Ketua DPRD, Zainal Arifin justru seharusnya tampil tegas dan kritis terhadap pelaksanaan proyek pemerintah. Ia punya alat kontrol berupa hak angket, hak interpelasi, hingga pengawasan langsung lewat komisi-komisi terkait.
Tidak layak kemudian menyudutkan masyarakat yang mengeluh terhadap hasil proyek dengan nada menyalahkan.
Pernyataan tersebut juga dikhawatirkan mematikan partisipasi publik. Bila suara rakyat yang mengkritik kualitas pembangunan dibalas dengan nada menyuruh bekerja sendiri, maka ke mana lagi masyarakat harus menyampaikan keluhannya?
Dalam sistem demokrasi, kritik dari rakyat adalah bahan bakar bagi perbaikan. Jika malah dimatikan, maka kontrol sosial akan lumpuh.
DPRD bukan sekadar lembaga formal. Ia adalah bagian dari sistem checks and balances, penjaga integritas penyelenggaraan negara di daerah.
Ketika Ketua DPRD sendiri terkesan “menyerah” atau bahkan membalikkan tanggung jawab kepada rakyat. Maka ini alarm bahwa lembaga legislatif kita sedang kehilangan arah dan keberanian.
Sudah saatnya para pemimpin publik lebih bijak dalam berkomunikasi. Kritik rakyat bukanlah gangguan. Melainkan suara hati nurani yang perlu didengar, bukan dimatikan.
Dan tugas utama seorang Ketua DPRD adalah menjadi corong rakyat, bukan malah menyuruh rakyat mengambil alih tugas negara. Salah kaprah bos! Salah pilih konsultan ini ketua dewan kita. Tabik. (*)