Oleh: Abd. Mukit
Hari Raya Idul Adha tidak sekadar menjadi momen keagamaan tahunan bagi umat Islam. Di Sumenep—daerah yang kaya dengan warisan budaya Islam Madura dan dinamika politik lokal—Idul Adha juga menjadi cermin hubungan antara kekuasaan, agama, dan masyarakat. Perayaan yang sejatinya menekankan nilai keikhlasan dan pengorbanan ini, sering kali berubah menjadi panggung simbolik bagi para aktor politik lokal.
Setiap tahun, kita menyaksikan elite politik, dari pejabat daerah hingga calon legislatif, turun ke desa-desa dan pulau-pulau membawa hewan kurban. Di satu sisi, ini merupakan bentuk kepedulian dan komitmen sosial. Namun di sisi lain, tidak bisa dinafikan bahwa aksi tersebut juga memiliki makna politis yang kuat—mengokohkan posisi mereka di hadapan masyarakat, terutama menjelang tahun politik.
Pembagian daging kurban menjadi lebih dari sekadar sedekah. Ia adalah bahasa simbolik kekuasaan. Siapa memberi, siapa menerima, dan dalam konteks apa, adalah bagian dari narasi patronase politik yang masih hidup subur di berbagai sudut Sumenep. Dalam banyak kasus, ini memperlihatkan bagaimana nilai-nilai spiritual dapat dikomodifikasi menjadi alat legitimasi politik.
Lebih jauh, Idul Adha seharusnya mengingatkan kita pada esensi pengorbanan Nabi Ibrahim: menyerahkan yang paling dicintai demi ketaatan dan kemaslahatan. Tapi dalam realitas politik lokal, pengorbanan sering kali ditafsirkan terbalik. Masyarakat diminta berkorban—dalam bentuk loyalitas, suara, bahkan harapan—demi kepentingan elite, yang belum tentu memberi keadilan atau perbaikan nyata dalam hidup mereka.
Di tengah ketimpangan pembangunan antara daratan dan kepulauan, antara kota dan desa, semangat Idul Adha justru mengundang pertanyaan kritis: siapa sebenarnya yang sedang berkorban, dan untuk siapa?
Opini ini bukan hendak mencurigai semua tindakan politisi sebagai kepura-puraan. Banyak dari mereka yang benar-benar tulus berbagi. Namun, masyarakat Sumenep berhak mempertanyakan apakah semangat pengorbanan itu juga tercermin dalam kebijakan publik, pelayanan dasar, dan keberpihakan anggaran.
Jika Idul Adha hanya dimaknai sebagai ajang “tampil baik” setahun sekali, maka nilai spiritualnya terdegradasi menjadi ritual tanpa ruh. Sebaliknya, jika benar-benar dimaknai sebagai momen evaluasi moral dan etika kekuasaan, maka Idul Adha bisa menjadi titik balik untuk membangun politik yang lebih ikhlas, adil, dan berpihak pada rakyat kecil.
Di bumi Sumekar yang sarat warisan ulama dan pejuang, sudah saatnya politik tidak hanya meniru prosesi ibadah, tetapi juga meneladani nilai-nilai sucinya. (md)