banner 728x250

Doa pada Puisi yang Tertahan di Langit Kangean: Nestapa Santri di Depan Sang Kyai

KANGEAN, taneyan.id-Sebuah desa yang sunyi di ujung timur laut Madura mendadak gempar. Seorang tokoh agama yang selama ini dikenal sebagai panutan, justru diduga mencabuli anak didiknya sendiri.

Tempat suci yang seharusnya menjadi ruang perlindungan, berubah menjadi ruang pengkhianatan paling sunyi.

Laporan kepolisian mencatat bahwa korban masih remaja. Ia beberapa kali mendatangi tempat ibadah itu untuk belajar mengaji. Di sanalah, kata penyidik, peristiwa itu terjadi—berulang, diam-diam, dalam senyap.

Kini, proses hukum sedang berjalan. Polisi telah memeriksa sejumlah saksi dan menetapkan tokoh agama tersebut sebagai tersangka. Namun bagi korban, luka yang tertinggal bukan hanya soal hukum—tapi soal iman yang dirampas.

Di sela liputan, kami merangkai bait-bait puisi dari suara-suara yang tak sempat terucap.

Doa yang Tertahan di Langit

Di tanah yang jauh dari sorot kota,

Seorang anak menggenggam luka.

Ia datang membawa kitab dan harap,

Namun pulang dengan tubuh remuk dan senyap.

Dinding musholla jadi saksi bisu,

Di mana zikir berganti isak sendu.

Tokoh itu—dengan jubah dan serban,

Bukan membimbing, tapi menusuk kepercayaan.

“Jangan bilang siapa-siapa,” katanya halus,

Dengan senyum yang menyimpan arus.

Ia berdiri di atas mimbar,

Tapi hatinya gelap, tak kenal gentar.

Ayat suci meluncur dari lisannya,

Tapi niatnya busuk dalam diamnya.

Ia ajarkan surga, tapi perbuatannya neraka,

Menodai jiwa yang polos dan merana.

Kini, suara korban mulai terdengar,

Dibantu hukum, dibantu sabar.

Keadilan perlahan mengetuk pintu,

Meski air mata masih membasuh waktu.

Polisi Bertindak, Desa Terbelah

Kapolsek setempat membenarkan penetapan tersangka dan menegaskan bahwa proses hukum akan berjalan sesuai aturan.

“Kami sudah periksa beberapa saksi, termasuk keluarga korban. Saat ini tersangka ditahan untuk memudahkan penyidikan,” ujar seorang petugas kepada taneyan.id.

Namun di desa kecil ini, perlawanan tak hanya datang dari pelaku, tapi juga dari sebagian warga yang masih tak percaya bahwa “ulama” mereka bisa melakukan hal sekeji itu.

“Beliau orang baik, gak mungkin,” ucap seorang warga.

Tapi kenyataan tak peduli reputasi. Bukti dan keberanian korban mulai bicara. Dan puisi ini jadi jembatan dari sunyi menuju suara. (ahy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *